Translate

Monday, August 2, 2021

Cerpen : Temanku dari Adelaide

 


Temanku dari Adelaide

Oleh : Irawati Sukarmadji

Adelaide adalah ibu kota dan kota terbesar di negara bagian South Australia, Adelaide adalah sebuah kota pesisir di Samudra Selatan. Penduduknya berjumlah 1.500.000 jiwa (perkiraan saja) dan luas wilayah metropolitan Adelaide adalah 870 km². Dari segi populasi, Adelaide adalah kota terbesar kelima di Australia. Adelaide terletak di Hamparan Adelaide, di sebelah utara Semenanjung Fleurieu, di antara Teluk St. Vincent dan Barisan Pegunungan Mount Lofty. Namanya berasal dari nama Ratu Adelaide, istri Raja William IV.Info ini aku ambil dari wikipedia. Sebegitu luas dan banyak penduduknya, namun aku hanya mengenal beberapa gelintir orang saja. Mengenal disini berarti aku suka berbincang-bincang dengan mereka yang aku kenal; sudah pasti aku tidak mengenal istri Raja William IV, tetapi aku sangat mengenal William temanku yang menjadi anak ke empat dari keluarga di Adelaide, yang bermukim di kawasan pedesaan Hahndorf , sebuah pemukiman Jerman di Adelaide Hills. Aku tidak begitu paham, mengapa William bermukim pada lokasi komunitas orang-orang Jerman, padahal dari segi fisik, dia lebih mirip orang Indonesia, bahkan wajahnya seperti orang Sunda kebanyakan. Bahkan aku sangat terpesona dengan logat bicaranya, William bisa berbahasa Sunda,  sangat lekoh dan nyunda banget. Ternyata William adalah seorang Sunda tulen yang kesasar di Hahndorf  karena dia dipungut sebuah keluarga Jerman yang sudah lama pindah ke Adelaide. William dipungut ketika berumur 12 tahun, karena dia telah menjadi yatim piatu.

Aku bertemu dengan William secara tidak sengaja di King William Road,tepatnya di Victoria Square dekat Kantor Pos Umum Adelaide. Waktu itu rombonganku sedang mengantar Pak  Dachyar yang ingin membeli perangko bekas di Kantor Pos, maklum saja, ketua rombongan yang bernama Pak Dachyar itu adalah anggota Perkumpulan Filatelis Indonesia. Melalui William, Pak Dachyar memperoleh banyak jenis perangko Australia. Ternyata William juga seorang pengepul perangko bekas Australia. Aku langsung akrab dengan William, dia adalah laki-laki paruh baya dengan kepribadian yang menarik.

Pertemuan pertama dengannya penuh dengan perbincangan menarik dan sedikit aneh.

” Hai Teteh, ada kegiatan apakah sehingga kalian datang ke Adelaide ?”, waktu itu William bertanya dengan insting ramahnya kepada rombonganku.

” Kami sedang mengikuti program study administrator untuk guru- guru dari Bandung”,jawabku disambut dengan wajah polosnya William.

”Oh, kalian berdua adalah guru kan ? Pantas saja bawaan kalian buku-buku tebal”, aku juga menjadi memasang wajah polos dan memandang heran ke buku-buku hasil workshop hari itu. Aku sendiri bingung, William itu berbicaranya... koq menggunakan bahasa Indonesia,  dia sama sekali tidak berbicara dengan logat bahasa Australia.

”Ya, kami semua guru. Kebetulan Pak Dachyar , ketua rombongan kami, sedang mencari perangko dari Australia,kami mengantar beliau, kami sekalian akan menuju Central Market”. Sambil berjalan, kami mengobrol ngaler-ngidul. Sebelum itu, jelas aku mengenalkan diriku pada William, bahwa namaku Anita Kusumawati. Dan William memperkenalkan dirinya dengan nama William saja. Aku rasa William lama tinggal di Jawa Barat,namun dugaanku salah besar.  Sampai umur 12 tahun William tinggal bersama keluarganya di Bandung, sejak menjadi yatim piatu, setelah itu dia tinggal bersama keluarga angkatnya di Australia. Aku tidak begitu peduli dengan asal-usulnya, aku lebih tertarik dengan semua cerita tentang perjalanan rohaninya yang sangat menginspirasiku.

Selama 3 minggu di Adelaide, kami sering bertemu dan berbincang-bincang.

” Kau lihat puncak spektakuler Gereja Katolik Roma St. Francis Xavier di hadapan kita itu ? ” sela William suatu sore ketika kami sedang duduk-duduk di sekitar taman.

” Indah sekali bangunan kuno itu ” jawab Pak Dachyar.

” Indah di luar, namun aku sering melihat Jin berkeliaran di dalamnya” kata William dingin.

” Jin-jin itu bekerja di bawah pengawasan Jin paling cerdas yang bernama Jin Ijul...” kami tertawa mendengar ocehannya.

” Ha ha..memang mereka dapat kau lihat dengan matamu ” kataku sedikit mengejek.

” Serius Anita, aku bahkan pernah dikejar-kejar oleh Jin Ijul, hanya karena dia jatuh cinta padaku”, sela William dengan penuh permintaan agar dipercaya.

” Cerita ngawur...” sela Pak Dachyar.

” Jangan-jangan kau ini sebenarnya bukan manusia, tapi bangsa Jin yang sedang menyamar menjadi manusia. Kami tertawa semua. Namun William hanya tersenyum.

William bercerita, biasanya sehabis bekerja ia sering berkunjung ke Gereja St.Francis Xavier hanya untuk melepas penat di hati, William ternyata seorang penganut Katolik Roma yang lumayan taat. William melanjutkan ceritanya. Katedral St Francis Xavier berada tepat di pusat Kota Adelaide.Katedral ini didedikasikan untuk santa misionaris Yesuit Spanyol abad ke-16 yang juga merupakan pelindung Gereja di Australia dan pelindung uskup pertama yang bernama  Francis Murphy. Pembangunan awal dimulai pada tahun 1851 dan telah terjadi berbagai tahap aktivitas menuju pemasangan menara pada tahun 1996. Gedung Katedral mulai digunakan pada tahun 1851, menjadikannya katedral tertua di Australia.” Makanya  penghuninya juga banyak yang sudah lanjut, termasuk Jin Ijul.”

Katedral biasanya tempat yang paling banyak  kesibukan dengan beberapa Misa harian, Rosario dan pengakuan serta pernikahan, pembaptisan dan pemakaman. Gereja ini merupakan  Katedral sekaligus gereja paroki, jadi biasanya ada banyak acara diosesan dan paroki yang diadakan di sini. William terus bercerita, aku dan Pak Dachyar berpura-pura mengerti. Tadinya aku mengira William adalah seorang pendatang muslim dari Bandung. Ternyata dugaanku salah, William sudah lama menjadi seorang Katolik sejak diadopsi oleh keluarga Jermannya. Sudah pasti selama di komunitas Hahndorf , meski ia seorang Muslim pasti ia akan diajak untuk menjadi Katolik. Wajar saja, itu hak orangtua angkatnya,karena saat itu William masih kanak-kanak.

Semakin kami intens berteman dengan William, aku dan Pak Dachyar semakin tertarik dengan cerita Jin Ijul ocehannya.

” Sebetulnya bagaimana sih...kau memahami kehidupan makhluk ini ?” tanya Pak Dachyar, seperti ingin menguji pengetahuan William.

”Yahh..kalau manusia memiliki spektrum dari warna merah hingga ungu, mereka berada pada posisi spektrum infra merah keatas, atau bahkan ultra violet ke bawah”, aku masih bingung dengan penjelasan ini. Setahuku makhluk ciptaan Allah itu ada beberapa, seperti Malaikat, Bidadari, Iblis, Jin, Manusia, Binatang, dan Tumbuhan. Sedangkan manusia hanya dapat melihat apa yang meliputi spektrum cahaya merah hingga ungu, seperti yang diceritakan William,ini mungkin saja bisa diterima oleh logika manusia. Tetapi, bagaimana penjelasannya bahwa William dapat melihat dengan kasat mata jin yang bermukim di gereja, asyiknya lagi...William dapat melihat jin yang berjenis kelamin perempuan ,yang bernama Ijul. Kenyataannya William tidak sedang kesurupan.

Dalam pelajaran agama ,setahuku manusia yang dapat berinteraksi dengan jin biasanya orang-orang dalam kondisi lemah mental, kondisi kejiwaannya kurang stabil, bahkan sosok yang sedang kesurupan umumnya orang yang dikerjain oleh jin. Ini sungguh lain, William adalah sosok manusia, walau dia memiliki penglihatan normal, dia bercerita terkadang melihat hal-hal klenik, terutama yang berkaitan dengan tingkah laku Ijul. Ijul yang dia maksud, siapa lagi kalau bukan sosok cantik di seputar gereja tua. ”Ijul pasti usianya sudah ribuan tahun”, sela William.

” Apakah kau tidak takut pada Ijul”, kataku disuatu perbincangan.

” Tidak, namun kadang-kadang muncul juga perasaan semacam itu. Aku takut bila Ijul mendekatiku dengan maksud yang aku sendiri tidak mengetahuinya”, William seperti merasakan ketakutan yang misterius,aku bisa merasakannya dari tatapan matanya yang melolong seperti burung hantu yang kehabisan tenaga. Seharusnya William tidak perlu mengalami kejadian begini,seandainya pengetahuannya tentang hal-hal mistis setara dengan orang-orang Soleh  yang ada di buku-buku cerita, seperti yang pernah aku baca. Aku merasakan adanya Khauf Wahmi, semacam ketakutan yang tidak ada atau lemah , dan  dialami oleh William. Perasaan takut bagiku, mungkin juga buat Pak Dachyar adalah takut kepada Allah ,takut boleh jadi merupakan  ibadah hati yang harus ada dalam hati seorang muslim dan muslimah yang mukallaf (yang dibebani syari’at). Takut yang diharapkan itu  adalah takut yang mendorong pelakunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan menjauhi keharaman. Sedangkan takut yang menyebabkan pelakunya putus asa dari rahmat Allah adalah takut yang tercela. Jadi takut yang benar haruslah bergandengan dengan harapan-harapan yang benar.

“Apakah kau mempunyai harapan pada Ijul mu itu?” tanyaku untuk memastikan tingkat ketauhidan si William. Meski ini berlebihan, namun aku harus memahami betul apa yang ada dibenak William, meski ia tidak mengucapkan kata-kata harapan pertolongan, tapi sesungguhnya ia terjebak dalam dilemma dirinya sendiri. Aku sudah tahu dengan jawaban temanku ini. Sudah kuduga dia tidak memiliki deskripsi yang jelas tentang jin Ijulnya itu. Gereja, jin, dan hiruk pikuk kota Adelaide yang semakin dingin pada malam-malam tertentu, semakin membuat temanku William terjebak dalam dunianya sendiri.

Aku mencoba mencari arti dari Ijul dalam kamus, namun tak terjawab. Apa yang ada dalam penjelasan William mengenai sosok Ijul, barangkali  menjadi legenda dibenaknya. William menjelaskan bahwa Ijul adalah dewanya orang-orang Kaurna yang hidup dipedalaman, dengan berkembangnya penganut Katholik di Adelaide, maka Ijulpun merasuk ke gereja-gereja seperti jin-jin muslim merasuk ke masjid-mesjid. Aku semakin tidak mengerti dengan pola pikir William. Pola pikir yang terdistorsi tentang harapan-harapan. Manusia memang mudah terjebak dengan harapan palsu. Yang detil sekalipun.

“ Sebaiknya kau tinggalkan Ijulmu itu ,dengan cara banyak belajar. Bergurulah kepada kami.” Pak Dachyar juga ingin mengutarakan semua kesamaan perasaannya.

“ Ketakutanku masih bisa aku kuasai,Pak.” Sela William.

“Sekarang bisa kau kuasai. Nanti, ke depan…kau akan kelimpungan sendiri. Hidup tidak sebatas hanya lingkup dunia yang sepenggal-penggal”.Pak Dachyar menjelaskan kriteria hidup.

“ Iya betul, tidak sebatas dunia filateli Pak Dachyar.” ujarku sambil ngakak.

“Maksudku, semua akan ada dampaknya. Bila Pak Dachyar suka akan koleksi perangkonya, so pasti dia bisa menjelajah dunianya dengan perantara perangkonya. Sedangkan kau mau menjelajahi dunia melalui Ijulmu ? Ha ha..” ujarku kembali ngakak, aku dan Pak Dachyar memiliki simpul yang sama, Ijul adalah jin penggoda, jin yang hanya membisiki rasa takut pada manusia.

William tiba-tiba mengeryitkan keningnya, lalu sesuatu seakan  dipikirkannya. Bola matanya membumbung tinggi, kepalanya mendongak ke atas.

“ Aku merasakannya, Ijul memanggilku. Ijul marah pada kalian berdua. Kalian jangan macam-macam dengannya. Karena hukum Kaurna amat bengis..” Pak Dachyar terlihat ketakutan, beliau terlihat panik. Kurasa ancaman William hanya gertak sambal. Bagaimana mungkin bangsa Jin yang tak kasat mata dapat menjadi ancaman real bagi manusia, atau bagaimana mungkin kaum Kaurna yang sudah ludes diberangus oleh kaum pendatang Australia mampu memanggil dewa mereka yang disebut oleh William sebagai Ijul itu ? Masya Allah, apapun boleh terjadi, namun gerak cepat William dari Victoria Square menuju gereja St. Francis Xavier secepat gerakan angin malam, terasa sangat menusuk tulang rusukku hingga ke tulang punggung, aroma gotik juga menusuk hidung berbaur dengan aroma sesembahan ala Kaurna. Bulu kudukku sedikit berdiri, merinding, namun aku harus yakin, semua ini adalah ilusi. Semua yang tampak adalah bayangan , bagaikan gerakan halus pengaruh sihir dari para dukun yang dibayar oleh para penganut Syirik akbar. Penganut di Australia berbeda dengan penganut di Indonesia, kalau di Indonesia cukup dengan kemenyan, dupa, uang , dan kopi…ilusi bisa langsung dikirim kepada siapapun juga, namun akan kembali kepada pihak penyerang bila sasarannya adalah seorang alim yang iklas hanya kepada Allah, Tuhan yang maha kuasa, Tuhan yang menguasai jagad Indonesia maupun jagad Australia.

Pak Dachyar gelagapan, tak dapat berkata-kata jelas, lalu secepat angin tubuhnya bergerak menuju St. Francis melalui dimensi lain berupa partikel-partikel sekecil zarah atom, ilusiku juga mengiringi gerakan angin beraroma gotik, suasana kami mirip seperti di film-film horor produksi Amrik, tubuh kami dihempaskan oleh energi tak terkira kesudut ruang gereja yang setengah gelap dan penuh debu. Kami hampir pingsan, namun Allah masih melindungi kami. Tubuh kami juga mulai berdarah-darah. Ya Allah, ini adalah peristiwa luar biasa yang belum pernah aku alami. Kalau saja peristiwa seperti ini terjadi di Banten misalnya, aku masih bisa menggertak para pelakunya dengan kalimat-kalimat Tasbih, Tahmid, Takbir,dan Istighfar. Kali ini kami hanya terdiam, namun relung hati yang paling dalam tetap melafadkan kalimat-kalimat Tasbih, disusul dengan kalimat Tahmid dan Takbir. Hati kami penuh ketakutan, sedikit takjub dengan suasana ornamen-ornamen kuno yang menghias dinding gereja. Begitu muncul patung-patung besar dengan ukiran yang meliuk-liuk membentuk untaian salip terbalik membelenggu seseorang, mungkin ini yang dimaksud dengan  satanic church oleh William yang pernah ia ceritakan pada kami, aku tersadar, kami berada dalam jurang perbedaan yang sangat sulit disatukan.  Apakah temanku dari Adelaide ini menganut paham children of god , yang diera 80an merasuki kota Lembang - Bandung dan sekitarnya ?  Aku masih ingat, penyebar paham ini memang ada yang berasal dari Australia, ini sumber aliran pemahaman yang menganut kebebasan dengan makna yang sebebas - bebasnya. Children of God termasuk dalam  kelompok satanic church.  William pernah mengulas hal ini, “ cikal bakal gereja setan berasal dari sebuah perkumpulan bernama The Order of the Trapezoid , anggota perkumpulan ini  kemudian menjadi badan pengurus Gereja Setan yang dibentuk pada tahun 1950an oleh Anton LaVey”, sela Willian. Waktu itu aku sangat mengagumi pengetahuan William tentang cerita-cerita rohani namun anti klimaks begini…

Aku menyadari, bukankah kami bergerak bak gelombang menuju gereja Katedral St. Francis Xavier ?  Ataukah kami larut dalam gelombang elektromagnet yang penuh ilusi ?

 

Jleb...jleb.., tiba-tiba aku dan Pak Dachyar berada dalam ruang  lain, layaknya melalui proses terowongan waktu, kami terpental dalam ruang full music , musik menggelegar memenuhi ruang atau ini hanya perasaan kami saja. Terdengar lagu-lagu beraliran heavy metal yang dinyanyikan oleh kelompok band Black Sabath, sebuah kelompok band Misa Hitam yang juga digandrungi anak-anak ABG di Indonesia. Rasa penasaranku terhenti begitu melihat kondisi Pak Dachyar, beliau yang sudah usia lanjut berusia 60an pasti sangat berat menjalani proses penuh ketidakpastian ini. Tubuh kurus Pak dachyar penuh luka dan memar, aku berusaha memapahnya hingga ke sisi ruang, musik susul menyusul memekakkan telinga, hingga terdengar lantunan imagine-nya John Lennon agak mengurangi pekaknya telinga kami.

“ Ha ha ha…ternyata kalian di sini, kalian ingin bertemu Ijul kah ?”, Astaghfirullah, dalam kebingungan yang amat mencekam, William mempermainkan kami. Apa maksudnya ia hendak memperkenalkan Ijul, bukankah kami tidak percaya dengan semua khayalannya.

“ Tidak mengapa, kalian kuperkenalkan pada seorang permaisuri dari Raja Lucifer, si biang raja kami, dia adalah Ijul yang selalu setia menemaniku. Kalian pantas menjadi santapan malam Ijul…ha ha ha …”,  si William semakin menggila.  Tak ada cara lain, seperti tornado malam dengan putaran sentrifugal yang amat dasyat, kami berlari berusaha meloloskan diri, aku dan Pak Dachyar berputar secepat putaran tornado ,bahkan tornado yang paling kencang lajunya di alam jagat ini. Walau sulit dan berat, kami saling menopang ,kaki kami berlari tertatih memutari gereja,menerjang badai Ratu Lucifer, si Ijul sialan itu. Sepenuh tenaga kami kerahkan, tiba-tiba  prak ! Prak!  Prak! Gaya sentripetal yang luar biasa menarik tubuh kami, kami terpental ke jalan Flinder, lalu terlempar ke jalan Wakefield,  lalu kami terjatuh di Victoria Square. Aku sungguh sangat lelah dan tubuh ini tak berdaya untuk melangkah, aku hampir pingsan,aku sudah tidak bisa mengingat lagi keadaan Pak Dachyar, mungkin Pak Dachyar tenggelam terbawa arus tornado Ratu Lucifer. Ternyata sang Ratu memiliki kekuatan dasyat seperti Raja Dajjal yang sedang dinanti-nanti kedatangannya. “Ya Allah, tolonglah kami…tolonglah kami dari kekejaman Ijul…lepaskan kami dari cengkeraman mautnya…”, aku berusaha berdoa terus memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Satu,walau ketakutan namun aku masih berharap akan pertolongan Allah.

 

Tak diduga olehku, tiba-tiba…gubraaakkk !  Dug ! Aku terjatuh, tubuhku tergeletak di bawah ranjang, aku terjatuh di lantai. Duh !    Ya Allah, ternyata aku bermimpi…bermimpi di kamar sendiri, heh..Jadi, sosok William,Pak Dachyar, Ijul, Ratu Lucifer, adalah ilusiku, buah mimpi yang carut marut. Ha ha.

“ Ya ampun, Anita…kalau tidur yang fokus dong, masa badanmu kau jatuhkan ke lantai”,sela adikku. Yahh…ternyata cuma mimpi…hilang semua asa untuk berada di Adelaide,Australia.  Mimpiku untuk mengikuti program studi administrator untuk guru- guru dari Bandung, ternyata benar-benar masuk dalam impian yang sungguhan. Masya Allah…

Namun aku tetap  bersyukur , bersyukur karena telah terlepas dari jeratan sikap kemusyrikan si ijul yang telah melanda dunia nyata, walau pada saat itu aku berada dalam ilusi mimpi. Ilusi mimpiku...lumayan seram ya, Alhamdulilah.

No comments:

Post a Comment

yang sering liat

Wijaya Kusumah itu...bermanfaat lho..

Coba cek lagi manfaat wijaya kusumah yang warnanya putih :  Bantu Menyembuhkan Luka Bunga wijaya kusuma diketahui mampu membantu proses peny...

yang sering nongol