Temanku
dari Adelaide
Oleh
: Irawati Sukarmadji
Adelaide adalah ibu kota dan kota terbesar di
negara bagian South Australia, Adelaide adalah sebuah kota pesisir di Samudra
Selatan. Penduduknya berjumlah 1.500.000 jiwa (perkiraan saja) dan luas wilayah
metropolitan Adelaide adalah 870 km². Dari segi populasi, Adelaide adalah kota
terbesar kelima di Australia. Adelaide terletak di Hamparan Adelaide, di
sebelah utara Semenanjung Fleurieu,
di antara Teluk St. Vincent dan
Barisan Pegunungan Mount Lofty.
Namanya berasal dari nama Ratu Adelaide, istri Raja William IV.Info ini aku
ambil dari wikipedia. Sebegitu luas dan banyak penduduknya, namun aku hanya
mengenal beberapa gelintir orang saja. Mengenal disini berarti aku suka
berbincang-bincang dengan mereka yang aku kenal; sudah pasti aku tidak mengenal
istri Raja William IV, tetapi aku sangat mengenal William temanku yang menjadi
anak ke empat dari keluarga di Adelaide, yang bermukim di kawasan pedesaan Hahndorf , sebuah pemukiman Jerman di Adelaide Hills. Aku tidak begitu paham,
mengapa William bermukim pada lokasi komunitas orang-orang Jerman, padahal dari
segi fisik, dia lebih mirip orang Indonesia, bahkan wajahnya seperti orang
Sunda kebanyakan. Bahkan aku sangat terpesona dengan logat bicaranya, William
bisa berbahasa Sunda, sangat lekoh dan nyunda banget. Ternyata William adalah seorang Sunda tulen yang
kesasar di Hahndorf karena dia dipungut sebuah keluarga Jerman
yang sudah lama pindah ke Adelaide. William dipungut ketika berumur 12 tahun,
karena dia telah menjadi yatim piatu.
Aku bertemu dengan William secara tidak
sengaja di King William Road,tepatnya
di Victoria Square dekat Kantor Pos
Umum Adelaide. Waktu itu rombonganku sedang mengantar Pak Dachyar yang ingin membeli perangko bekas di
Kantor Pos, maklum saja, ketua rombongan yang bernama Pak Dachyar itu adalah
anggota Perkumpulan Filatelis Indonesia. Melalui William, Pak Dachyar
memperoleh banyak jenis perangko Australia. Ternyata William juga seorang
pengepul perangko bekas Australia. Aku langsung akrab dengan William, dia adalah
laki-laki paruh baya dengan kepribadian yang menarik.
Pertemuan pertama dengannya penuh
dengan perbincangan menarik dan sedikit aneh.
” Hai Teteh, ada kegiatan apakah
sehingga kalian datang ke Adelaide ?”, waktu itu William bertanya dengan
insting ramahnya kepada rombonganku.
” Kami sedang mengikuti program study
administrator untuk guru- guru dari Bandung”,jawabku disambut dengan wajah
polosnya William.
”Oh, kalian berdua adalah guru kan ?
Pantas saja bawaan kalian buku-buku tebal”, aku juga menjadi memasang wajah
polos dan memandang heran ke buku-buku hasil workshop hari itu. Aku sendiri
bingung, William itu berbicaranya... koq menggunakan bahasa Indonesia, dia sama sekali tidak berbicara dengan logat
bahasa Australia.
”Ya, kami semua guru. Kebetulan Pak
Dachyar , ketua rombongan kami, sedang mencari perangko dari Australia,kami
mengantar beliau, kami sekalian akan menuju Central
Market”. Sambil berjalan, kami mengobrol ngaler-ngidul. Sebelum itu, jelas aku mengenalkan diriku pada
William, bahwa namaku Anita Kusumawati. Dan William memperkenalkan dirinya
dengan nama William saja. Aku rasa William lama tinggal di Jawa Barat,namun
dugaanku salah besar. Sampai umur 12
tahun William tinggal bersama keluarganya di Bandung, sejak menjadi yatim
piatu, setelah itu dia tinggal bersama keluarga angkatnya di Australia. Aku
tidak begitu peduli dengan asal-usulnya, aku lebih tertarik dengan semua cerita
tentang perjalanan rohaninya yang sangat menginspirasiku.
Selama 3 minggu di Adelaide, kami
sering bertemu dan berbincang-bincang.
” Kau lihat puncak spektakuler Gereja
Katolik Roma St. Francis Xavier di
hadapan kita itu ? ” sela William suatu sore ketika kami sedang duduk-duduk di
sekitar taman.
” Indah sekali bangunan kuno itu ”
jawab Pak Dachyar.
” Indah di luar, namun aku sering
melihat Jin berkeliaran di dalamnya” kata William dingin.
” Jin-jin itu bekerja di bawah
pengawasan Jin paling cerdas yang bernama Jin Ijul...” kami tertawa mendengar
ocehannya.
” Ha ha..memang mereka dapat kau lihat
dengan matamu ” kataku sedikit mengejek.
” Serius Anita, aku bahkan pernah
dikejar-kejar oleh Jin Ijul, hanya karena dia jatuh cinta padaku”, sela William
dengan penuh permintaan agar dipercaya.
” Cerita ngawur...” sela Pak Dachyar.
” Jangan-jangan kau ini sebenarnya
bukan manusia, tapi bangsa Jin yang sedang menyamar menjadi manusia. Kami
tertawa semua. Namun William hanya tersenyum.
William bercerita, biasanya sehabis
bekerja ia sering berkunjung ke Gereja St.Francis Xavier hanya untuk melepas
penat di hati, William ternyata seorang penganut Katolik Roma yang lumayan
taat. William melanjutkan ceritanya. Katedral St Francis Xavier berada tepat di
pusat Kota Adelaide.Katedral ini didedikasikan untuk santa misionaris Yesuit
Spanyol abad ke-16 yang juga merupakan pelindung Gereja di Australia dan
pelindung uskup pertama yang bernama Francis Murphy. Pembangunan awal dimulai
pada tahun 1851 dan telah terjadi berbagai tahap aktivitas menuju pemasangan
menara pada tahun 1996. Gedung Katedral mulai digunakan pada tahun 1851,
menjadikannya katedral tertua di Australia.” Makanya penghuninya juga banyak yang sudah lanjut,
termasuk Jin Ijul.”
Katedral biasanya tempat yang paling
banyak kesibukan dengan beberapa Misa
harian, Rosario dan pengakuan serta pernikahan, pembaptisan dan pemakaman.
Gereja ini merupakan Katedral sekaligus
gereja paroki, jadi biasanya ada banyak acara diosesan dan paroki yang diadakan
di sini. William terus bercerita, aku dan Pak Dachyar berpura-pura mengerti.
Tadinya aku mengira William adalah seorang pendatang muslim dari Bandung.
Ternyata dugaanku salah, William sudah lama menjadi seorang Katolik sejak
diadopsi oleh keluarga Jermannya. Sudah pasti selama di komunitas Hahndorf , meski ia seorang Muslim pasti
ia akan diajak untuk menjadi Katolik. Wajar saja, itu hak orangtua
angkatnya,karena saat itu William masih kanak-kanak.
Semakin kami intens berteman dengan
William, aku dan Pak Dachyar semakin tertarik dengan cerita Jin Ijul ocehannya.
” Sebetulnya bagaimana sih...kau
memahami kehidupan makhluk ini ?” tanya Pak Dachyar, seperti ingin menguji
pengetahuan William.
”Yahh..kalau manusia memiliki spektrum
dari warna merah hingga ungu, mereka berada pada posisi spektrum infra merah
keatas, atau bahkan ultra violet ke bawah”, aku masih bingung dengan penjelasan
ini. Setahuku makhluk ciptaan Allah itu ada beberapa, seperti Malaikat,
Bidadari, Iblis, Jin, Manusia, Binatang, dan Tumbuhan. Sedangkan manusia hanya
dapat melihat apa yang meliputi spektrum cahaya merah hingga ungu, seperti yang
diceritakan William,ini mungkin saja bisa diterima oleh logika manusia. Tetapi,
bagaimana penjelasannya bahwa William dapat melihat dengan kasat mata jin yang
bermukim di gereja, asyiknya lagi...William dapat melihat jin yang berjenis
kelamin perempuan ,yang bernama Ijul. Kenyataannya William tidak sedang
kesurupan.
Dalam pelajaran agama ,setahuku manusia
yang dapat berinteraksi dengan jin biasanya orang-orang dalam kondisi lemah
mental, kondisi kejiwaannya kurang stabil, bahkan sosok yang sedang kesurupan
umumnya orang yang dikerjain oleh
jin. Ini sungguh lain, William adalah sosok manusia, walau dia memiliki
penglihatan normal, dia bercerita terkadang melihat hal-hal klenik, terutama
yang berkaitan dengan tingkah laku Ijul. Ijul yang dia maksud, siapa lagi kalau
bukan sosok cantik di seputar gereja tua. ”Ijul pasti usianya sudah ribuan tahun”,
sela William.
” Apakah kau tidak takut pada Ijul”,
kataku disuatu perbincangan.
” Tidak, namun kadang-kadang muncul
juga perasaan semacam itu. Aku takut bila Ijul mendekatiku dengan maksud yang
aku sendiri tidak mengetahuinya”, William seperti merasakan ketakutan yang
misterius,aku bisa merasakannya dari tatapan matanya yang melolong seperti
burung hantu yang kehabisan tenaga. Seharusnya William tidak perlu mengalami
kejadian begini,seandainya pengetahuannya tentang hal-hal mistis setara dengan orang-orang
Soleh yang ada di buku-buku cerita,
seperti yang pernah aku baca. Aku merasakan adanya Khauf Wahmi, semacam ketakutan yang tidak ada atau lemah , dan dialami oleh William. Perasaan takut bagiku,
mungkin juga buat Pak Dachyar adalah takut kepada Allah ,takut boleh jadi merupakan ibadah hati yang harus ada dalam hati seorang
muslim dan muslimah yang mukallaf (yang dibebani syari’at). Takut yang
diharapkan itu adalah takut yang
mendorong pelakunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan menjauhi
keharaman. Sedangkan takut yang menyebabkan pelakunya putus asa dari rahmat
Allah adalah takut yang tercela. Jadi takut yang benar haruslah bergandengan
dengan harapan-harapan yang
benar.
“Apakah kau mempunyai harapan pada Ijul mu itu?”
tanyaku untuk memastikan tingkat ketauhidan si William. Meski ini berlebihan,
namun aku harus memahami betul apa yang ada dibenak William, meski ia tidak
mengucapkan kata-kata harapan pertolongan, tapi sesungguhnya ia terjebak dalam
dilemma dirinya sendiri. Aku sudah tahu dengan jawaban temanku ini. Sudah
kuduga dia tidak memiliki deskripsi yang jelas tentang jin Ijulnya itu. Gereja,
jin, dan hiruk pikuk kota Adelaide yang semakin dingin pada malam-malam
tertentu, semakin membuat temanku William terjebak dalam dunianya sendiri.
Aku mencoba mencari arti dari Ijul dalam kamus,
namun tak terjawab. Apa yang ada dalam penjelasan William mengenai sosok Ijul,
barangkali menjadi legenda dibenaknya.
William menjelaskan bahwa Ijul adalah dewanya orang-orang Kaurna yang hidup dipedalaman, dengan berkembangnya penganut
Katholik di Adelaide, maka Ijulpun merasuk ke gereja-gereja seperti jin-jin
muslim merasuk ke masjid-mesjid. Aku semakin tidak mengerti dengan pola pikir William.
Pola pikir yang terdistorsi tentang harapan-harapan. Manusia memang mudah
terjebak dengan harapan palsu. Yang detil sekalipun.
“ Sebaiknya kau tinggalkan Ijulmu itu ,dengan
cara banyak belajar. Bergurulah kepada kami.” Pak Dachyar juga ingin
mengutarakan semua kesamaan perasaannya.
“ Ketakutanku masih bisa aku kuasai,Pak.” Sela
William.
“Sekarang bisa kau kuasai. Nanti, ke depan…kau
akan kelimpungan sendiri. Hidup tidak sebatas hanya lingkup dunia yang
sepenggal-penggal”.Pak Dachyar menjelaskan kriteria hidup.
“ Iya betul, tidak sebatas dunia filateli Pak
Dachyar.” ujarku sambil ngakak.
“Maksudku, semua akan ada dampaknya. Bila Pak
Dachyar suka akan koleksi perangkonya, so
pasti dia bisa menjelajah dunianya dengan perantara perangkonya. Sedangkan kau
mau menjelajahi dunia melalui Ijulmu ? Ha ha..” ujarku kembali ngakak, aku dan Pak Dachyar memiliki
simpul yang sama, Ijul adalah jin penggoda, jin yang hanya membisiki rasa takut
pada manusia.
William tiba-tiba mengeryitkan keningnya, lalu
sesuatu seakan dipikirkannya. Bola
matanya membumbung tinggi, kepalanya mendongak ke atas.
“ Aku merasakannya, Ijul memanggilku. Ijul marah
pada kalian berdua. Kalian jangan macam-macam dengannya. Karena hukum Kaurna amat bengis..” Pak Dachyar
terlihat ketakutan, beliau terlihat panik. Kurasa ancaman William hanya gertak
sambal. Bagaimana mungkin bangsa Jin yang tak kasat mata dapat menjadi ancaman
real bagi manusia, atau bagaimana mungkin kaum Kaurna yang sudah ludes diberangus oleh kaum pendatang Australia
mampu memanggil dewa mereka yang disebut oleh William sebagai Ijul itu ? Masya
Allah, apapun boleh terjadi, namun gerak cepat William dari Victoria Square menuju gereja St. Francis Xavier secepat gerakan angin
malam, terasa sangat menusuk tulang rusukku hingga ke tulang punggung, aroma gotik juga menusuk hidung berbaur dengan
aroma sesembahan ala Kaurna. Bulu
kudukku sedikit berdiri, merinding, namun aku harus yakin, semua ini adalah
ilusi. Semua yang tampak adalah bayangan , bagaikan gerakan halus pengaruh
sihir dari para dukun yang dibayar oleh para penganut Syirik akbar. Penganut di Australia berbeda dengan penganut di
Indonesia, kalau di Indonesia cukup dengan kemenyan, dupa, uang , dan
kopi…ilusi bisa langsung dikirim kepada siapapun juga, namun akan kembali
kepada pihak penyerang bila sasarannya adalah seorang alim yang iklas hanya
kepada Allah, Tuhan yang maha kuasa, Tuhan yang menguasai jagad Indonesia
maupun jagad Australia.
Pak Dachyar gelagapan, tak dapat berkata-kata
jelas, lalu secepat angin tubuhnya bergerak menuju St. Francis melalui dimensi
lain berupa partikel-partikel sekecil zarah atom, ilusiku juga mengiringi
gerakan angin beraroma gotik, suasana kami mirip seperti di film-film horor
produksi Amrik, tubuh kami
dihempaskan oleh energi tak terkira kesudut ruang gereja yang setengah gelap
dan penuh debu. Kami hampir pingsan, namun Allah masih melindungi kami. Tubuh
kami juga mulai berdarah-darah. Ya Allah, ini adalah peristiwa luar biasa yang
belum pernah aku alami. Kalau saja peristiwa seperti ini terjadi di Banten
misalnya, aku masih bisa menggertak para pelakunya dengan kalimat-kalimat Tasbih,
Tahmid, Takbir,dan Istighfar. Kali ini kami hanya terdiam, namun relung hati
yang paling dalam tetap melafadkan kalimat-kalimat Tasbih, disusul dengan
kalimat Tahmid dan Takbir. Hati kami penuh ketakutan, sedikit takjub dengan
suasana ornamen-ornamen kuno yang menghias dinding gereja. Begitu muncul
patung-patung besar dengan ukiran yang meliuk-liuk membentuk untaian salip
terbalik membelenggu seseorang, mungkin ini yang dimaksud dengan satanic
church oleh William yang pernah ia ceritakan pada kami, aku tersadar, kami
berada dalam jurang perbedaan yang sangat sulit disatukan. Apakah temanku dari Adelaide ini menganut
paham children of god , yang diera
80an merasuki kota Lembang - Bandung dan sekitarnya ? Aku masih ingat, penyebar paham ini memang ada
yang berasal dari Australia, ini sumber aliran pemahaman yang menganut kebebasan
dengan makna yang sebebas - bebasnya. Children of God termasuk dalam kelompok satanic
church. William pernah mengulas hal
ini, “ cikal bakal gereja setan
berasal dari sebuah perkumpulan bernama The
Order of the Trapezoid , anggota perkumpulan ini kemudian menjadi badan pengurus Gereja Setan yang
dibentuk pada tahun 1950an oleh Anton LaVey”, sela Willian. Waktu itu aku
sangat mengagumi pengetahuan William tentang cerita-cerita rohani namun anti
klimaks begini…
Aku menyadari, bukankah kami bergerak bak
gelombang menuju gereja Katedral St.
Francis Xavier ? Ataukah kami larut
dalam gelombang elektromagnet yang penuh ilusi ?
Jleb...jleb.., tiba-tiba aku dan Pak
Dachyar berada dalam ruang lain,
layaknya melalui proses terowongan waktu, kami terpental dalam ruang full music , musik menggelegar memenuhi
ruang atau ini hanya perasaan kami saja. Terdengar lagu-lagu beraliran heavy metal yang dinyanyikan oleh
kelompok band Black Sabath, sebuah
kelompok band Misa Hitam yang juga digandrungi anak-anak ABG di Indonesia. Rasa
penasaranku terhenti begitu melihat kondisi Pak Dachyar, beliau yang sudah usia
lanjut berusia 60an pasti sangat berat menjalani proses penuh ketidakpastian
ini. Tubuh kurus Pak dachyar penuh luka dan memar, aku berusaha memapahnya
hingga ke sisi ruang, musik susul menyusul memekakkan telinga, hingga terdengar
lantunan imagine-nya John Lennon agak mengurangi pekaknya
telinga kami.
“ Ha ha ha…ternyata kalian di sini, kalian ingin
bertemu Ijul kah ?”, Astaghfirullah, dalam kebingungan yang amat mencekam,
William mempermainkan kami. Apa maksudnya ia hendak memperkenalkan Ijul,
bukankah kami tidak percaya dengan semua khayalannya.
“ Tidak mengapa, kalian kuperkenalkan pada
seorang permaisuri dari Raja Lucifer, si biang raja kami, dia adalah Ijul yang
selalu setia menemaniku. Kalian pantas menjadi santapan malam Ijul…ha ha ha
…”, si William semakin menggila. Tak ada cara lain, seperti tornado malam
dengan putaran sentrifugal yang amat dasyat, kami berlari berusaha meloloskan
diri, aku dan Pak Dachyar berputar secepat putaran tornado ,bahkan tornado yang
paling kencang lajunya di alam jagat ini. Walau sulit dan berat, kami saling
menopang ,kaki kami berlari tertatih memutari gereja,menerjang badai Ratu
Lucifer, si Ijul sialan itu. Sepenuh tenaga kami kerahkan, tiba-tiba prak ! Prak!
Prak! Gaya sentripetal yang luar biasa menarik tubuh kami, kami
terpental ke jalan Flinder, lalu terlempar ke jalan Wakefield, lalu kami terjatuh di Victoria Square. Aku
sungguh sangat lelah dan tubuh ini tak berdaya untuk melangkah, aku hampir
pingsan,aku sudah tidak bisa mengingat lagi keadaan Pak Dachyar, mungkin Pak
Dachyar tenggelam terbawa arus tornado Ratu Lucifer. Ternyata sang Ratu
memiliki kekuatan dasyat seperti Raja Dajjal yang sedang dinanti-nanti
kedatangannya. “Ya Allah, tolonglah kami…tolonglah kami dari kekejaman
Ijul…lepaskan kami dari cengkeraman mautnya…”, aku berusaha berdoa terus
memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Satu,walau ketakutan namun aku masih
berharap akan pertolongan Allah.
Tak diduga olehku, tiba-tiba…gubraaakkk ! Dug ! Aku terjatuh, tubuhku tergeletak di
bawah ranjang, aku terjatuh di lantai. Duh !
Ya Allah, ternyata aku bermimpi…bermimpi di kamar sendiri, heh..Jadi,
sosok William,Pak Dachyar, Ijul, Ratu Lucifer, adalah ilusiku, buah mimpi yang
carut marut. Ha ha.
“ Ya ampun, Anita…kalau tidur yang fokus dong,
masa badanmu kau jatuhkan ke lantai”,sela adikku. Yahh…ternyata cuma
mimpi…hilang semua asa untuk berada di Adelaide,Australia. Mimpiku untuk mengikuti program studi
administrator untuk guru- guru dari Bandung, ternyata benar-benar masuk dalam
impian yang sungguhan. Masya Allah…
Namun aku tetap
bersyukur , bersyukur karena telah terlepas dari jeratan sikap
kemusyrikan si ijul yang telah melanda dunia nyata, walau pada saat itu aku
berada dalam ilusi mimpi. Ilusi mimpiku...lumayan seram ya, Alhamdulilah.