Menjalankan ibadah haji tamattu sungguh suatu pengalaman luar biasa, seharusnya tidak disebut sebagai pengalaman, namun sebuah ritual ibadah, yang kadang aku sendiri suka berpikir, koq bisa ya aku berangkat ke Tanah Suci bersama suamiku. Bukankah secara ekonomi hidup kami juga masih pas-pas an? pas butuh... pas ada, namun aneh bin ajaib kami diijinkan Allah untuk terbang ke Saudi Arabia untuk beribadah wajib yang hanya sekali seumur hidup di dunia. Aku begitu ingin sekali pergi naik haji mengingat sebuah perintah langsung yang pernah kubaca "Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji". (S. Al-Hajj [22] : 27). Jadi bagaimana mungkin perintah itu tidak digubris,bukankah Allah begitu mengasihi kita sepanjang perjalanan hidup. Hingga secara diam-diam aku mendaftarkan diri untuk naik haji,tanpa sepengetahuan suami. Lha, ujung-ujungnya suami mengetahui juga, sambil bersungut protes padaku.
" Pokoknya kalau ibu berangkat haji, bapak juga harus berangkat " agak keras ia menegurku.
" Tapi kita tidak punya cukup uang, bagaimana?" selaku.
" Harus cari jalan, supaya kita dapat membiayainya" pinta suamiku,ia bersikeras ingin berangkat pula,padahal aku sudah tidak punya uang lagi ,sudah dipakai melunasi kuota hajiku. Eh, tiba-tiba ngga begitu lama dari protesnya, ada sebuah bank swasta menawarkan dana pinjaman untuk naik haji.Tapi ini adalah pinjaman dengan bunga bank, waktu itu aku belum begitu memperhatikan efek dari sebuah bunga bank yang notabene merupakan riba,sehingga aku ambil jalan pintas ini untuk memberangkatkan kami ke tanah suci. Alhamdulilah, ngga sampai dua bulan aku sudah melunasi pinjaman dana talang haji tersebut. Betapa bahagianya aku dan suamiku dapat berangkat bersama-sama dalam satu rombongan pula, padahal diawal pendaftaran kami memiliki hari,tanggal dan tempat bank yang berbeda. Allah sungguh sangat membantu hambanya, ya Allah betapa Engkau memudahkan semua jalan kami, aku selalu bersyukur selama penantian keberangkatan kami. "Aku penuhi panggilanMu ya Allah, aku penuhi panggilanMu ya Allah dan tiada sekutu bagiMu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, serta kekuasaaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu."
Hari sudah gelap, panas bumi Sisyah tak menyurutkan aku untuk membenahi kopor kami di hotel Tharawat Al Shesha tempat para jemaah bermukim,indahnya latar di depan jendela kamar ,berupa turunan jalan selepas jamarat, menyebabkan butiran air mata berderai hangat jatuh membasahi pipi, ada sesuatu yang aneh dan ghaib dalam pandangan nuraniku.
Setelah berbenah sesaat, jemaah meluncur dalam bus shalawat menuju Masjidil Haram. "Allahumma antassalaam, waminkassalaam fahayyinaa rabbanaa bissalaam wa adkhilnal jannata daarassalaam tabaarakta wata'aalaita yaa dzaljalaali wal ikraam. Allahummaftah lii abwaaba rahmatika wamaghfiratika wa adkhilnii fiihaa. Bismillahi walhamdulillahi wasshalaatu wassalaamu 'alaa rasuulillaah", tak terasa luapan air mengalir deras diantara suka citanya bathin yang tak terkirakan
Hal-hal ghaib sudah dimulai, disaat thawaf dan sai saja, aku mulai menjadi bingung, bingung yang tak kumengerti. Lautan manusia seperti membangun ilusi himpitan kepedihan akan terjadi. Kurasakan manusia yang saling berdesakan, saling tarik,saling dorong, namun dengan mengiklaskan semua kejadian tubuh ini serasa dihanyutkan dalam gelombang besar,disusul ombak-ombak menengah kadang riak kecil mengikuti arah turbulen,tidak melawan, pasrah dan tenang. Hingga rasa lelah dan panik tidak menjadi prioritas semua jamaah. Dalam tujuh putaran selalu kulantunkan doa pada Sang Maha Esa ,antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad kuteguhkan doa "Robbana aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah,waqinaa adzaabannaar.."
Sedemikian semua melewati thawaf dan sa'i penuh gembira hingga lelah badan kami sandarkan pada koridor Tharawat Al Shesha,sebuah hotel 2 km di pinggiran Mekah, di zona Syisya, kantor sektor 6. Terkadang bila lelah melanda,aku sandarkan diri ini pada sofa besar disudut ruang tak jauh dari lift,sambil mengamati betapa banyak ragam karakter manusia, lain daerah lain pula karakternya. Ada saja emak-emak yang cerewet, sepanjang perjalanan ya cerewet terus. Ada juga yang kalem, ya dia akan kalem seterusnya di perjalanan. Seolah Allah mempertontonkan karakter manusia di depan banyak manusia lain. Ada bapak-bapak tua yang selalu peduli dengan orang lain,empatinya lumayan banyak membantu, ya begitulah dia akan selalu berempati sepanjang perjalanan. Aku jadi memikirkan hadis ini, Nabi saw bersabda," Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak". Yang jelas akhlak mencapai puncaknya ketika seseorang melakukan ibadah haji, " Haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui.Siapa yang menetapkan niat dalam bulan itu untuk mengerjakan haji maka tidak boleh berbuat kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan dalam masa haji" (Q.S. Al - Baqarah : 197).
Hmm...sungguh Allah telah mempersiapkan semuanya. Berjuta jama'ah haji datang ke Mekkah untuk berdesakan pada setiap tahun,pada kondisi yang sangat padat semacam itu, manusia memang dituntut untuk menunjukkan akhlak yang baik. Ditengah perjalanan pulang ke Sisya setelah melakukan umroh, aku bergumam pada suamiku, "Kata teman saya, kalau di Mekkah kita tidak usah membawa minuman dan makanan,karena akan banyak orang berbaik hati memberinya, tapi kita tak menemukannya sekarang..", namun tiba-tiba saja beberapa langkah didepanku muncul sebuah mobil box sarat dengan barang bawaan,
"hajji..hajjah... hadha khudh..." kedengarannya seperti itu, atau aku sudah mulai error karena lelah,eh ternyata mereka memberikan kami 2 bungkus roti dan minuman dingin 2 botol untuk masing-masing orang, Alhamdulilah...betapa naifnya aku, baru saja aku mempertanyakan kebaikan hati orang-orang Mekah,Allah langsung menjawabnya. Astaghfirullah...
begitupun dengan semua apa yang kita ucapkan akan selalu memberi dampak, baik positif ataupun negatif.
Aku memasuki kamar hotel tepat menjelang tengah malam sesudah semua teman kelompokku kelelahan dan tertidur diranjang masing-masing. Ada satu yang masih terbangun, dia Bu Lilis, seorang ibu tengah baya yang sangat penyabar.
"Assalamualaikum, bun.. belum tidur ?" tanyaku ramah.
" Waalaikumsalam warahmatullah...Iya, nih. Koq tumben saya masih belum juga ngantuk, jadi saya ngaji Qur'an saja...Baru pulang dari Haram bu?"
"Betul, inginnya sih..tidak ke hotel, tapi keburu laperr ..heh".
" He..he, besok subuh saja kita kembali ke mesjid.."
"Insya Allah.."selaku.
"Bagaimana bun, pendapat bunda dengan perjalanan kita sekarang" aku mencoba mengobrol dengan bu Lilis sebelum mata berat ini menutup.
" Alhamdulilah, saya senang sekali, saya sudah betah di sini, dan tidak ingin pulang ke Indonesia.." kata Bu Lilis mengagetkanku.
" Hah, jangan gitu bun, kasian anak-anak di rumah.." selanjutnya aku tidak paham dengan pembicaraan Bu Lilis karena rasa kantuk yang amat menyerang. Terakhir kali kudengar sayup-sayup, Bu Lilis berkata, "Bu Nanda...bu Nanda...sudah tidur ya?"
Aku yang bernama Nanda bin Sudarsono sudah terhanyut dalam mimpi indah di sebuah kota nan jauh dari negeriku.
iklan
Beberapa hari menjelang tanggal 9 Dzulhijjah, sebelum keberangkatan ke Arofah dari Mina, kusempatkan aku dan suamiku bermunajat di depan Ka'bah, bahkan kami sempatkan untuk selalu berada dalam masjid sepanjang hari, sambil berpayah-payah menaiki bus shalawat sebelum subuh. Namun,dasyatnya jamaah yang bertumpuk disekitaran masjid , membuat kami terdampar disekitar luar saja. Suatu kali kami mampu menapaki daerah Shafa,lalu berdiam diri menunggu kumandang azan subuh, tak beranjak sedikitpun, he he kami takut tempat kami diambil orang lain, sampai segitunya ya..Diantara rasa takut tak kebagian tempat,selalu kuselipkan rasa hormat pada sesama,aku khawatir akan akhlaq buruk yang terbalaskan langsung di sini. Bukankah Allah SWT berfirman dalam wasiat Luqman kepada anaknya, " Jangan engkau memalingkan muka (tusha'ir) kepada manusia,dan jangan berjalan dimuka bumi dengan angkuh! " (Q.S Luqman : 18)
" Pak, lihatlah jenazah-jenazah itu...mereka akan dishalatkan sekarang!" teriakku pada suami. Terlihat begitu banyak rombongan pengantar jenazah hingga menimbulkan sedikit keributan di pintu masuk Shafa.
" Wah, bagus itu..mereka berhasil wafat di Mekkah,seandainya aku.." jawab suamiku terlihat sekenanya,namun dalam hatiku mengatakan," hati-hati pak, bukankah ucapan itu adalah doa..", aku sendiri agak bingung memaknai banyak ucapan-ucapan para jema'ah disekitaranku. Banyak ucapan-ucapan tanpa sadar yang seharusnya tidak usah diucapkan.Kusadari ataupun tidak, aku sungguh merasa khawatir dan selalu was was yang berlebihan sejak peristiwa rubuhnya derek atau crane yang menewaskan ratusan orang.Derek yang begitu berat jatuh dari lantai tiga diatas Shofa dan Marwah, amat tragis,peristiwa itu terjadi disaat kami masih di Indonesia. Aku sangatlah berharap kejadian musibah tidak terulang kembali,walau kematian adalah sebuah keniscayaan. Frame of referencenya kuanggap semua kejadian adalah cobaan yang dijadikan ujian semata. Bukankah Allah sudah menyatakannya," Alif laam miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, 'kami telah beriman', sementara mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang jujur dan benar-benar mengetahui orang-orang yang dusta" QS al - Ankabut : 1 - 3. Sejujurnya, aku tidak ingin bahwa ujian itu menimpa padaku. Coba, bayangkan saja seandainya suamiku berharap meninggal di tanah suci, lalu keluh kesahku mulai kutampakkan pada diriku sendiri. " Siapa nanti yang memberi nafkah aku dan anak-anak ...bila bapak ingin meninggal disini?", hati kecilku sedikit menciut,dengan sekejab kutolak mentah-mantah dengan argumenku sendiri,bukankah rejeki senantiasa mencari manusia sebagaimana ajal yang juga senantiasa mencarinya.
Saatnya kami bersiap diri menuju Mina, kami semua berkumpul di balkon menanti kedatangan bus. Aku duduk di sofa hijau,karena sofanya terlalu besar maka suamiku duduk menempati sebelahku.Agak kearah depanku duduk pula ketua rombongan, saya memanggilnya 'bapak karom Abdullah'.
"Kemarilah Pak Yanto" perintah karom pada suamiku. Sejenak kulihat karom memperbaiki gelang identitas suamiku. Hanya itu saja, lalu karom memanggilku pula.
" Mendekatlah..." sebetulnya aku agak risih berdekatan dengan laki-laki lain selain suamiku, tapi dia seorang yang sudah uzur, masa sih aku tidak menuruti perintahnya. Maka ketika aku duduk disebelahnya, karom Abdullah memperbaiki gelang indentitasku dengan teliti,
"jangan sampai gelang ini lepas dari tangan ibu, kalau ada apa-apa..akan mudah melacak keberadaan ibu.." begitu kata karom.
" ya pak.." aku tidak menolak karom memperbaiki letak gelangku. Ternyata karom melakukannya hampir ke semua jama'ah didekatnya, aku heran, begitu pentingkah memperbaiki posisi gelang identitas milik banyak orang, aku agak menerawang mungkin sesuatu akan terjadi...segera aku beristigfar.
O ya, aku jadi begini atau jadi begitu,mungkin karena dua hari sebelum ke Mina,dekat toilet di Masjidil Haram,ada kejadian aneh.Langkah kakiku menapaki jalan menuju pintu gerbang hendak menuruni tangga tempat tandas, deg! tiba-tiba jantungku berdegup keras agak ketakutan,sesungguhnya aku tahu suamiku juga keheranan dengan kejadian yang ada di depan matanya, dia mengantarkanku hingga ditempat aneh ini. Apakah yang terjadi? Aku melihat setumpukan darah merah bertebaran dibawah pijakan kakiku,apakah ini darah menstruasi? tapi koq banyak begitu...atau darah dari janin yang keguguran, aku ngga ngerti, benar-benar aneh. Tidak ada orang satupun juga didepan toilet padahal hari siang terang benderang,aku mau bertanya kepada siapa...wong ngga ada orang satupun.Kuikuti ceceran darah tadi hingga sampai ujung tangga yang menurun, tapi apa peduliku,kutinggalkan semua kejanggalan itu karena tak ada keributan sedikitpun diantara banyak orang dalam toilet yang sangat besar. Barangkali ada seorang ibu hamil yang janinnya keguguran,namun kukira darahnya terlalu banyak tercecer. Sekali lagi,apa peduliku. Kutarik tangan suamiku meninggalkan ceceran darah itu. Biarlah keanehan terjadi, kataku. Hal semacam ini kalau terjadi di Indonesia mungkin sudah ditafsirkan macam-macam oleh awam,akan terjadi inilah...atau akan terjadi anu. Aku agak menampik hal demikian. Yang penting kita perlu jujur kepada Allah.Aku teringat dengan tulisan seorang ulama, ia bercerita...Ada orang-orang jujur dengan janji mereka kepada Allah. Pada perang Badar Umair ibn al-Hamam datang dan bertanya kepada Rasulullah,"Wahai Rasulullah,bagaimana seandainya aku memerangi mereka lalu mereka membunuhku, apakah aku akan masuk surga?" Nabi saw. menjawab, "Ya". Kemudian beliau berkata, " Bangkitlah menuju surga yang luasnya seperti langit dan bumi". Maka,Umair berkata,"Bagus,bagus". Nabi bertanya padanya,"Ya Umair, mengapa engkau mengatakan bagus,bagus?" Jawabnya, "Aku berharap bisa menjadi salah satu penduduk surga". Nabipun menegaskan, "Engkau termasuk penduduk surga". Ketika itu ditangan Umair ada beberapa kurma yang sedang ia makan. Ia memandang kepada kurma-kurma itu dan berkata, "Yang menjadi penghalang antara aku dan surga adalah kurma-kurma ini. Sungguh masih lama". Maka ia segera membuang kurma-kurma tadi, kemudian masuk ke kancah peperangan dan mati sebagai syahid. Tampaknya ada kesamaan kejujuran yang dikatakan oleh suamiku atau oleh Bu Lilis atau juga apa yang diucapkan oleh karomku, mereka sudah jujur kepada Allah.iklan
Hari Arafah, 23 September 2015, langit amat cerah,tepat pada 9 Zulhijah, sebelum zuhur, jemaah tiba di Arafah, sebuah dataran tandus sekitar 20 km (12 mi) timur Mekah,di mana kami berdiri dalam kewaspadaan kontemplatif; kami berdoa, bertobat, dan menebus dosa masa lalu , mencari belas kasih Allah, dan mendengarkan khotbah dari imam dari dekat Gunung Arafah, yang berlangsung dari siang hingga matahari terbenam. Ini dikenal sebagai 'berdiri di hadapan Allah' (wuquf), salah satu kegiatan haji yang paling penting.
Di masjid Namirah jama'ah melaksanakan shalat Dhuhur dan Ashar bersama pada tengah hari, di qashar saja.Haji seorang jamaah dianggap tidak sah jika dia tidak menghabiskan sore harinya di Arafah.Kami berada ditenda putih,agak menjorok ke dalam sehingga beberapa pepohonan cukuplah menjadi naungan, angin sesekali mengibas,namun panas menghelanya jauh-jauh, ya betapa panasnya. Manusia berjejal dari berbagai suku bangsa,bahasa mereka sangat beragam,sungguh akan begini kejadian di padang mahsyar pada hari kiamat. Kita semua kebingungan di tempat itu. Banyak jama'ah bermukim di bukit-bukit batu,di jalanan, di lapangan,di tenda-tenda,sungguh hal yang menakjubkan. Kadang jama'ah terlihat letih dan lesu, namun tetap kegembiraan terpancar indah memenuhi relung hati setiap jama'ah. Ada suami istri saling berpelukan menangis tersedu-sedu saling meminta maaf, juga anak terhadap ibu, anak terhadap ayah, teman terhadap kawannya, semua saling meminta maaf. Lantunan do'a dan dzikir memenuhi langit Arafah. Entah mengapa kulirihkan sebuah doa Nabi saw yang ia ucapkan setiap malam : " Ya Allah, kusambut dan kupenuhi panggilan-Mu. Seluruh kebaikan ada di tangan-Mu dan keburukan sekali-kali bukan dari-Mu"
"Ibu, maafkan bapak ya.." tiba-tiba suamiku memeluk erat tubuhku, tangisnya agak ditahan, namun serasa ia dengan tulus memohon maaf.
" Iya pak, sama-sama...maafkan juga ibu", airmataku meleleh seperti air penyesalan yang mencari pemaafan.
" Iya pak, sama-sama...maafkan juga ibu", airmataku meleleh seperti air penyesalan yang mencari pemaafan.
" Bapak beristighfar dulu ya..."
" Silahkan pak " suamiku beristighfar sambil jari-jemarinya bergerak,ada penyesalan yang dalam, ada permohonan maaf seolah ia akan wafat keesokkan hari. Di hari Arafah ini, seolah kami berada di hadapan Allah tanpa alas kaki, tanpa baju, serasa kami memegang lembaran catatan amal masing-masing,sebuah keadaan yang sangat menakutkan. Aku teringat dengan pernyataan Allah, " Pada hari ini Kututup mulut mereka dan berbicaralah pada Kami tangan mereka,serta kaki mereka menjadi saksi atas apa yang dulu mereka lakukan" (Q.S. Yasin :65)..."Kalian tidak dapat bersembunyi dari kesaksian yang diberikan oleh pendengaran,penglihatan, dan kulit kalian terhadap kalian"(Q.S Fushshilaat : 22).
Amat pilu kelihatannya,itulah hari Arafah. Disisi kanan tersedu-sedan seorang ibu meratap didepan sang suami,ia bernama Bu Kartijah, dia senang menggunakan khimar berwarna hitam gelap,sementara jama'ah perempuan kebanyakan memakai baju putih dengan kerudung panjang putih. Bu Kartijah sekamar denganku, orangnya sangat mudah menangis. Ketika suatu malam aku bercerita tentang penyakit yang pernah aku derita,ia malah menangis tersedu-sedu tanpa sebab. Aku kira dia selalu menangis setiap saat, porsi tangisannya kukira terlalu berlebih, seperti mengalami kejadian memilukan yang terus-menerus, aneh memang. Di sudut kiri ada Neng Dian terlihat lesu dan lelah, sesekali ia keluar tenda untuk menghirup udara segar, ".... saya memiliki penyakit asma bu Nanda...". Maka kubantu ia dengan mencarikan kursi sekedar untuk mendudukan neng Dian. Pantas saja ia terlihat lesu dan lelah. Ya, ini hari Arafah, kami wukuf di tempat sambil tak lepas dari berdzikir dan berdoa hingga menjelang sore.
Petuah sang imam di tenda kami, terngiang dalam sanubari setiap insan,
"Tidak henti-hentinya kedua kaki manusia itu nanti berdiri pada hari kiamat di hadapan hadirat Tuhannya, sehingga ia akan ditanya empat macam perkara ".
" Apa saja itu pak Ustadz? " tanya seseorang dari belakang.
" Umurnya,untuk apa dihabiskannya. Masa mudanya,untuk apa digunakannya. Hartanya,darimana diperolehnya dan untuk apa dibelanjakannya. Dan amalan apa yang telah dilakukan yang sesuai dengan yang telah diketahuinya "jelas sang imam, maka berderai airmata dari banyak jama'ah.
Matahari melepaskan tawanya,tergelincir penuh senyum,menutupi dirinya dibalik awan senja sedikit agak membentuk serpihan-serpihan garis abu kemerahan. Sebentar lagi hari menjelang malam, kami bergegas meluncur menuju Mudzdalifah, berencana mabit sampai subuh. Namun begitu sampai menjelang magrib, area yang kami tuju sangat padat, krodit, begitulah jama'ah saling berebut lahan,hingga tengah malam kami hanya menduduki area dekat perbatasan antara Mina dan Mudzdalifah,bahkan antara sadar dan tidak..aku tertidur di tembok pembatas dipinggiran jalan raya, hingga aku dibangunkan oleh seorang anak muda Arab setengah menegur, " Mama...mama, bangun..ayo bangun,jangan tidur di pinggir jalan raya, berbahaya!" begitu kira-kira dalam bahasa kita, teguran pemuda itu. Kulihat teman sekamarku sedang mabit di pinggiran jalan juga,sesuatu yang tidak kami harapkan, seharusnya rombongan kami berada disekitar tanah lapang dekat mesjid berbaur dengan rombongan jamaah lain. Namun rombongan dari Malaysia agak keras 'mengusir' kami dan mengklaim bahwa area mereka tidak boleh diduduki. Dalam kondisi terombang-ambing,kurasakan Allah Swt mengajarkan kepada hambaNya bahwa semua kejadian tunduk kepada kehendakNya. Suka-suka Allah, Dia berbuat sesuai kehendakNya. Sesuatu yang kuduga baik bisa jadi mendatangkan keburukan, sebaliknya sesuatu yang kuduga buruk bisa jadi mendatangkan kebaikan. Semua urusan kembali kepada Allah Swt. Sehingga semua urusan kami serahkan kepadaNya,agar yang tersisa hanya Allah, agar kami iklas ketika mengatakan " kami bertawakal kepada Engkau, ya Allah.." sebuah ungkapan yang indah. Tiba-tiba jauh menjelang subuh rombongan Malaysia meninggalkan area mereka menggunakan bus mereka keluar lapang, bukankah Allah mempersilahkan kami untuk bermunajat sambil menunggu waktu subuh di area yang mereka tempati. Alhamdulilah...
No comments:
Post a Comment